Rabu, 23 September 2009

TIPS YANG SEDANG MENGALAMI DI SURABAYA

"Tidak ada harga atas waktu. tapi waktu sangat berharga. Memiliki waktu tidak menjadikan kita kaya, tetapi menggunakannya dengan baik adalah sumber dari semua kekayaan"

" Bukan hal - hal besar yang menjadikan orang besar, tetapi hal - hal yang lebih kecil yang dikerjakan dengan kekuatan impian-impian besar dan pengabdian yang setia."
Sulit bagi anda untuk menemukan orang yang dalam rencana keberhasilannya ada rencana keberhasilan Anda. Maka kami harus merencanakan keberhasilan anda sendiri.

"Yakinlah, bila ada kemungkinan bagi Kami untuk gagal, berarti ada kemungkinan bagi kami untuk berhasil. Fokuslah untuk memaksimalkan kemungkinan keberhasilan kami"

"Bila kami ingin mengetahui masa lalu kami, Kenalilah keadaan
kami sekarang. Bila kami ingin mengetahui masa depan kami,
perhatikanlah yang kami kerjakan sekarang"

" kami hanya sepenting yang kerjakan. bila kami meningkatkan nilai dari pekerjaan kami bagi orang lain, kami akan menjadi semakin penting bagi mereka"

" Waktu memang tidak terbatas, tetapi waktu untuk kita terbatas. Janganlah memboroskan waktu. Janganlah menggunakan waktu seolah-olah waktu saya tidak terbatas"


"Kasih sayang adalah pembangun kasih sayang. Jangan pernah menuntut perhatian dan kasih sayang dari pasangan saya, bila saya tidak memulai yang saya tuntut "



Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari (59) bikin gerah World Health
Organization (WHO) dan Pemerintah Amerika Serikat (AS). Fadilah berhasil menguak konspirasi AS dan badan kesehatan dunia itu dalam mengembangkan senjata biologi dari virus flu burung, Avian Influenza (H5N1).

Setelah virus itu menyebar dan menghantui dunia, perusahaan-perusaha an dari negara maju memproduksi vaksin lalu dijual ke pasaran dengan harga mahal di negara berkembang, termasuk Indonesia. Fadilah menuangkannya dalam bukunya berjudul Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung. Selain dalam edisi Bahasa Indonesia, Siti juga meluncurkan buku yang sama dalam versi Bahasa Inggris dengan judul It's Time for the World to Change.

Konspirasi tersebut, kata Fadilah, dilakuakn negara adikuasa dengan cara mencari kesempatan dalam kesempitan pada penyebaran virus flu burung. "Saya mengira mereka mencari keuntungan dari penyebaran flu burung dengan menjual vaksin ke negara kita," ujar Fadilah kepada Persda Network di SURABAYA

Situs berita Australia, The Age, mengutip buku Fadilah dengan mengatakan, Pemerintah AS dan WHO berkonpirasi mengembangkan senjata biologi dari penyebaran virus avian H5N1 atau flu burung dengan memproduksi senjata biologi. Karena itu pula, bukunya dalam versi bahasa Inggris menuai protes dari petinggi WHO.

"Kegerahan itu saya tidak tanggapi. Kalau mereka gerah, monggo mawon (silahkan saja). Betul apa nggak, mari kita buktikan. Kita bukan saja dibikin gerah, tetapi juga kelaparan dan kemiskinan. Negara-negara maju menindas kita, lewat WTO, lewat Freeport, dan lain-lain. Coba kalau tidak ada kita sudah kaya" ujarnya.

Fadilah mengatakan, edisi perdana bukunya dicetak masing-masing 1.000 eksemplar untuk cetakan bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Total sebanyak 2.000 buku. "Saat ini banyak yang meminta jadi dalam waktu dekat saya akan mencetak cetakan kedua dalam jumlah besar. Kalau cetakan pertama dicetak penerbitan kecil, tapi untuk rencana ini, saya sedang mencari bicarakan dengan penerbitan besar," katanya.

Selain mencetak ulang bukunya, perempuan kelahiran Solo, 6 November 1950, mengatakan telah menyiapkan buku jilid kedua. "Saya sedang menulis jilid kedua. Di dalam buku itu akan saya beberkan semua bagaimana pengalaman saya. Bagaimana saya mengirimkan 58 virus, tetapi saya dikirimkan virus yang sudah berubah dalam bentuk kelontongan. Virus yang saya kirimkan dari Indonesia diubah-ubah Pemerintahan George Bush," ujar menteri kesehatan pertama Indonesia dari kalangan perempuan ini.

Siti enggan berkomentar tentang permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memintanya menarik buku dari peredaran. "Bukunya sudah habis. Yang versi bahasa Indonesia, sebagian, sekitar 500 buku saya bagi-bagikan gratis, sebagian lagi dijual ditoko buku. Yang bahasa Inggris dijual," katanya sembari mengatakan, tidak mungkin lagi menarik buku dari peredaran.

Pemerintah AS dikabarkan menjanjikan imbalan peralatan militer berupa senjata berat atau tank jika Pemerintah RI bersedia menarik buku setebal 182 halaman itu.

= Mengubah Kebijakan =

Apapun komentar pemerintah AS dan WHO, Fadilah sudah membikin sejarah dunia. Gara-gara protesnya terhadap perlakuan diskriminatif soal flu burung, AS dan WHO sampai-sampai mengubah kebijakan fundamentalnya yang sudah dipakai selama 50 tahun.

Perlawanan Fadilah dimulai sejak korban tewas flu burung mulai terjadi di Indonesia pada 2005. Majalah The Economist London menempatkan Fadilah sebagai tokoh pendobrak yang memulai revolusi dalam menyelamatkan dunia dari dampak flu burung.

"Menteri Kesehatan Indonesia itu telah memilih senjata yang terbukti lebih berguna daripada vaksin terbaik dunia saat ini dalam menanggulangi ancaman virus flu burung, yaitu transparansi" tulis The Economist. The Economist, seperti ditulis Asro Kamal Rokan di Republika, edisi pekan lalu, mengurai, Fadilah mulai curiga saat Indonesia juga terkena endemik flu burung 2005 silam. Ia kelabakan. Obat tamiflu harus ada. Namun aneh, obat tersebut justru diborong negara-negara kaya yang tak terkena kasus flu burung.

Di tengah upayanya mencari obat flu burung, dengan alasan penentuan diagnosis, WHO melalui WHO Collaborating Center (WHO CC) di Hongkong memerintahkannya untuk menyerahkan sampel spesimen. Mulanya, perintah itu diikuti Fadilah. Namun, ia juga meminta laboratorium litbangkes melakukan penelitian. Hasilnya ternyata sama. Tapi, mengapa WHO CC meminta sampel dikirim ke Hongkong?

Fadilah merasa ada suatu yang aneh. Ia terbayang korban flu burung di Vietnam. Sampel virus orang Vietnam yang telah meninggal itu diambil dan dikirim ke WHO CC untuk dilakukan risk assessment, diagnosis, dan kemudian dibuat bibit virus. Dari bibit virus inilah dibuat vaksin. Dari sinilah, ia menemukan fakta, pembuat vaksin itu adalah perusahaan-perusaha an besar dari negara maju, negara kaya, yang tak terkena flu burung. Mereka mengambilnya dari Vietnam, negara korban, kemudian menjualnya ke seluruh dunia tanpa izin. Tanpa kompensasi.

Fadilah marah. Ia merasa kedaulatan, harga diri, hak, dan martabat negara-negara tak mampu telah dipermainkan atas dalih Global Influenza Surveilance Network (GISN) WHO. Badan ini sangat berkuasa dan telah menjalani praktik selama 50 tahun. Mereka telah memerintahkan lebih dari 110 negara untuk mengirim spesimen virus flu ke GISN tanpa bisa menolak. Virus itu menjadi milik mereka, dan mereka berhak memprosesnya menjadi vaksin.

Di saat keraguan atas WHO, Fadilah kembali menemukan fakta bahwa para ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO CC. Data itu, uniknya, disimpan di Los Alamos National Laboratory di New Mexico, AS.

Di sini, dari 15 grup peneliti hanya ada empat orang dari WHO, selebihnya tak diketahui. Los Alamos ternyata berada di bawah Kementerian Energi AS. Di lab inilah duhulu dirancang bom atom Hiroshima. Lalu untuk apa data itu, untuk vaksin atau senjata kimia?

Fadilah tak membiarkan situasi ini. Ia minta WHO membuka data itu. Data DNA virus H5N1 harus dibuka, tidak boleh hanya dikuasai kelompok tertentu. Ia berusaha keras. Dan, berhasil. Pada 8 Agustus 2006, WHO mengirim data itu. Ilmuwan dunia yang selama ini gagal mendobrak ketertutupan Los Alamos, memujinya.

Majalah The Economist menyebut peristiwa ini sebagai revolusi bagi transparansi. Tidak berhenti di situ. Siti Fadilah terus mengejar WHO CC agar mengembalikan 58 virus asal Indonesia, yang konon telah ditempatkan di Bio Health Security, lembaga penelitian senjata biologi Pentagon. Ini jelas tak mudah. Tapi, ia terus berjuang hingga tercipta pertukaran virus yang adil, transparan, dan setara.

Ia juga terus melawan dengan cara tidak lagi mau mengirim spesimen virus yang diminta WHO, selama mekanisme itu mengikuti GISN, yang imperialistik dan membahayakan dunia. Dan, perlawanan itu tidak sia-sia. Meski Fadilah dikecam WHO dan dianggap menghambat penelitian, namun pada akhirnya dalam sidang Pertemuan Kesehatan Sedunia di Jenewa Mei 2007, International Government Meeting (IGM) WHO di akhirnya menyetujui segala tuntutan Fadilah, yaitu sharing virus disetujui dan GISN dihapuskan.

"Anda bisa memberi tanpa mengasihi, tetapi anda tidak mungkin mengasihi tanpa memberi"
Artinya...mengasihi bukan cuma omong doang ya???
DUh MUNIK, Berat sekali bahasamu...

"Ada orang yang dari Senin ke Jumpat memikirkan SAbtu dan Minggu, dan mengkhawatirkan senin selama hari minggu. Sebetulnya, Orang seperti ini hisup pada hari apa?"


Hehehe, ketahuan ya.. kadang aku terlalu sibuk memikirkan hari libur... sampai tidak fokus akan pekerjaan hari ini.
"Perubahan tidak menjamin tercapainya perbaikan, tetapi tidak ada perubahan yang bisa dicapai tanpa perubahan. Maka bersikap ramahlah kepada perubahan"

"Kita harus pandai bersyukur dan ikhlas menerima pemberian. dan tidak mengeluh setelah menerima. Tetapi pastikan lah Anda berdiri dimana pemberian itu besar"

Pemberian yang dimaksud disini sebenarnya adalah cobaan, Alasan menggunakan kata pemberian adalah karena pemberian itu harus disikapi dengan bijak, sedangkan cobaan kadang membuat kita menjadi lemah.

Pemberian itu selalu positif, khususnya cobaan, kenapa.. karena sebenarnya cobaan adalah anugrah dari Tuhan karena kita diberikan ujian untuk naik kelas.

Siapa sih yang tidak ingin naik kelas?
Orang berkualitas yang dibayar rendah, bagai emas yang diperlakukan seperti kuningan, karena penampilannya buruk. Maka hati hatilah dengan penampilan anda"


Duh MUNIK, berat bener bahasanya. ini penampilan mungkin tidak sekedar penampilan diri saja mungkin juga fisik. hehehe, musti perbaiki penampilan biar lebih keren


Tidak ada komentar:

Posting Komentar